Pemerintah melalui Menkunham Yasonna memberikan asimiliasi pada 30 ribu-an narapidana. Menimbulkan polemik karena dilakukan disaat pandemik COVID19 seperti ini. Dimana tiap orang dianjurkan bahkan diminta untuk tetap dirumah, jauhi keramaian, isolasi diri. Beragam komentar di media sosial didominasi ketidaksetujuan. Lapas dianggap lebih aman dibandingankan harus berbaur dengan masyarakan yang sedang dilanda virus. Terlebih ada narasi dari media bila asimilasi ini bisa membebaskan koruptor. Makin panas karena disangkutpautkan dengan koruptor EKTP yang belum lama masuk. Spekulasi liar dan para pecinta konspirasi berteori bila ini hanyalah akal-akalan untuk membebaskan napi tertentu.
Framing media kearah pembebasan koruptor membuat saya berkomentar tidak setuju, khususnya kepada pembebasan koruptor. Kemudian ditanggapi seorang yang lebih paham bila pembebasan seperti ini ada sebuah aturan yang melarang pembebasan koruptor dan terorisme. Kecuali memang ada perubahan aturan PP 99/2012.
Beliau bercerita bila ada warga binaan yang sengaja kembali masuk lapas. Karena tidak diterima masyrakat bahkan keluarga sendir. Sulit mencari penghidupan, maka penjara lebih baik daripada kelaparan. Pasca asimilasi, pemberitaan mengenai kriminal diangkat dengan tema ex-napi. Memang bisa saja, tapi bisa juga sebuah pencocokan.
Bila dipikir lagi, mudah sekali menyalahkan ex napi ini, karena tidak masyrakat banyak pun banyak yang tidak ada penghasilan, bagiaman para napi yang muncul tiba tiba sebagai tambahan angkatan kerja. Berita mengenai kriminal banyak, dari berita di media terpercaya sampai berita mulut ke mulut. Bahkan rekan kerja saya sendiri dipepet orang saat pulang kerja dan dipalak uang.
Sebuah pemikiran bila tingginya PHK dan tingginya pengangguran akan memicu kriminalitas adalah sebuah pemikiran yang rasanya ingin tidak saya terima. Tapi memang itulah teori yang mudah dipahami. Hanya saja berharap bila manusia di negeri ini masih ingat dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui, sehingga mereka bisa bersambar.
PSBB yang kadang terlihat tidak terlalu efektif karena masih banyak yang berkeliaran, namun efeknya pasti ada. Jalna banyak yang sepi, dan memberikan kesempatan pada mereka pelaku kejahatan. Rumornya di tempat saya kerja pun ada yang dijambret, berakibat luka-luka.
Semoga kita semua bisa menghadapi dengan sabar dan tolong-menolong dalam kebaikan.
Framing media kearah pembebasan koruptor membuat saya berkomentar tidak setuju, khususnya kepada pembebasan koruptor. Kemudian ditanggapi seorang yang lebih paham bila pembebasan seperti ini ada sebuah aturan yang melarang pembebasan koruptor dan terorisme. Kecuali memang ada perubahan aturan PP 99/2012.
Beliau bercerita bila ada warga binaan yang sengaja kembali masuk lapas. Karena tidak diterima masyrakat bahkan keluarga sendir. Sulit mencari penghidupan, maka penjara lebih baik daripada kelaparan. Pasca asimilasi, pemberitaan mengenai kriminal diangkat dengan tema ex-napi. Memang bisa saja, tapi bisa juga sebuah pencocokan.
Bila dipikir lagi, mudah sekali menyalahkan ex napi ini, karena tidak masyrakat banyak pun banyak yang tidak ada penghasilan, bagiaman para napi yang muncul tiba tiba sebagai tambahan angkatan kerja. Berita mengenai kriminal banyak, dari berita di media terpercaya sampai berita mulut ke mulut. Bahkan rekan kerja saya sendiri dipepet orang saat pulang kerja dan dipalak uang.
Sebuah pemikiran bila tingginya PHK dan tingginya pengangguran akan memicu kriminalitas adalah sebuah pemikiran yang rasanya ingin tidak saya terima. Tapi memang itulah teori yang mudah dipahami. Hanya saja berharap bila manusia di negeri ini masih ingat dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui, sehingga mereka bisa bersambar.
PSBB yang kadang terlihat tidak terlalu efektif karena masih banyak yang berkeliaran, namun efeknya pasti ada. Jalna banyak yang sepi, dan memberikan kesempatan pada mereka pelaku kejahatan. Rumornya di tempat saya kerja pun ada yang dijambret, berakibat luka-luka.
Semoga kita semua bisa menghadapi dengan sabar dan tolong-menolong dalam kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar